Sabtu, 25 Mei 2013

Kamu dan Pengabaian

Aku meninggalkannya; orang baru. Perasaan memang tidak bisa dipaksakan, hati ini masih milikmu. Aku hanya menginginkanmu. Mungkin aku terlalu banyak bermimpi. Mungkin aku terlalu bodoh untuk masih bertahan dan memperjuangkan cinta ini. Mungkin aku terlalu gengsi untuk mengungkapkan perasaan ini. Mungkin aku terlalu takut menerima respon darimu.


Aku hanya mencoba untuk membangun kembali hubungan yang entah apa namanya. Aku mencoba untuk menyapamu kembali. Memberimu selamat atas kelulusanmu, memberi semangat untuk hari-hari yang akan kamu lewati. Aku mungkin terlalu percaya diri. Aku memang mencoba untuk percaya diri, aku hanya ingin tahu apa tanggapanmu. Apa yang akan kamu katakan. Kamu memang bukan orang yang sempurna. Tapi untukku, kamu yang paling sempurna dan aku mencintaimu.


Memang seharusnya aku menghapus perasaan ini. Perasaan yang salah. Mencintai tanpa tahu dicintai atau tidak. Kamu pergi meninggalkanku tanpa tahu perasaanku dan tanpa aku tahu perasaanmu.



Kembali aku mendapat pengabaian. Pengabaian atas ucapan selamatku untukmu. Pengabaian atas usahaku memberimu semangat. Pengabaian atas perasaan ini. Aku fikir kamu berbeda, ternyata aku salah. Dari awal, memang aku yang salah.


Aku tidak akan pernah mencoba menghapus perasaan ini. Aku hanya membiarkannya. Menghilang, ataupun bertambah. Aku memang bodoh. Rela menahan sakit hanya untuk mencintaimu.


Selamat atas kelulusanmu, Sayang. 

Senin, 20 Mei 2013

Mencintai Dalam Diam

Mencintai dalam diam, menyakitkan bukan?
Aku bukan takut bertanya padamu apakah kamu mencintaiku atau tidak.
Aku takut jawabanmu tidak sesuai dengan harapanku. Dan itu akan lebih menyakitkan.
Jadi lebih baik aku tidak pernah tahu, kan?
Memendamnya sendiri, jauh lebih baik. Perasaan ini tumbuh dengan pesat tanpa kubiarkan. Bagaimana aku bisa menghentikannya? Aku tidak pernah tahu jawabannya.
Aku masih mencintaimu dalam diam, meskipun menyakitkan.


Sampai pada akhirnya seseorang datang padaku; bukan kamu. Tetapi orang baru. Seseorang yang menyatakan perasaannya padaku, entah benar atau tidak akupun tidak tahu. Aku menerimanya. Aku mencoba membiarkannya masuk ke dalam hatiku. Tapi nyatanya, hanya kamu yang berhasil masuk tanpa memberikan sedikit ruang kosong untuk oranglain. Aku benci ini semua; membiarkanmu masuk dengan mudah, tapi sulit untuk melepasmu keluar dari ruang itu. Dan tentu saja, sulit menerima orang baru.



Ya, waktu. Mungkin aku membutuhkan waktu. Untuk bisa membiarkan kamu keluar dari ruang itu. Untuk bisa membiarkan orang baru masuk menggantikanmu. Waktu untuk berhenti mencintaimu dan mulai mencintainya. Semua butuh proses. Aku tidak akan semudah itu melupakanmu.
Aku hanya membutuhkan waktu, tapi bisakah dia menungguku? Seperti layaknya aku setia mengabdi pada luka ini dan setia menunggu perasaan untukmu ini hilang. Bisakah dia?



Karena, semua pasti berubah seiring berjalannya waktu. Aku hanya membutuhkan orang yang setia menungguku. Bukan orang yang mengorbankan banyak hal untukku, mendapatkanku, lalu aku dicampakkan. Bukan juga seseorang yang mencari pelarian.



Aku berharap, dia setia menungguku dan tidak meninggalkanku sepertimu.
Aku berharap, kamu cepat keluar dari ruang di hati ini.
Aku berharap, bisa berhenti mencintaimu dan bisa melepasmu.
Aku berharap, bisa berhenti mencintaimu dalam diam.
Aku berharap, alasan dari semua hal itu adalah Dia; orang baru.



Minggu, 19 Mei 2013

Candu Cintamu




Ingatan itu begitu lekat. Ingatan tentang dirimu. Saat kamu datang membawa sejuta harapan untukku. Aku pernah bertekad untuk mengunci rapat-rapat pintu hatiku, sampai pada akhirnya kamu datang dan dengan mudah membuka lebar pintu itu. Kamu masuk dengan mudahnya. Perasaan itu tumbuh begitu pesat. Mungkin ini terlalu cepat. Tapi sungguh, aku sadar bahwa perasaan ini tulus. Aku merasakannya lagi; jatuh cinta.


Mungkin aku yang salah di sini. Tidak seharusnya aku membiarkanmu masuk dengan mudahnya. Seharusnya aku menjaga pintu itu agar tidak ada seorangpun yang dapat merobohkan kembali benteng pertahanan diri ini. Tapi ketika kamu telah masuk, dan aku merasakan cinta lagi; semua begitu indah. Kamu dan hidupku.


Aku kembali menemukan titik terang. Hatiku tidak lagi mati rasa.
Kamu begitu banyak bercerita tentang dirimu, bukan?
Kamu pernah ingin memanggilku sayang, bukan? Tapi aku berfikir, ini pasti hanya lelucon.
Karena kamu begitu humoris, sampai-sampai aku tidak dapat membedakan mana yang bahan leluconmu dan mana yang serius.


Kini kamu telah pergi tanpa alasan.
Meninggalkanku.
Siapa aku? Aku tidak berhak mencegahmu. Aku tidak berhak marah kamu pergi tanpa alasan. Aku tidak berhak memintamu kembali.
Mungkin kamu hanya menganggapku sebagai teman. Ya, teman. Memang aku yang terlalu berharap lebih.


Aku hanya bisa melihatmu dalam ingatanku, dalam foto, dalam angan-angan.
Menyedihkan, bukan?
Tidakkah kamu merasakan hal yang sama?
Tidakkah kamu merindukanku?
Tidakkah kamu berniat kembali?
Tidakkah kamu berniat menjadikanku sebagai tujuanmu?
Tentu tidak.
Aku hanyalah seekor itik buruk rupa yang menginginkan seekor angsa yang sempurna.


Detik ini, airmataku kembali menetes. Mungkin aku terlalu berlebihan. Tapi jujur, aku merindukanmu. Ingatan tentangmu selalu berputar di kepalaku. Seperti film yang ditonton berulang kali.
Seharusnya, aku memang belajar untuk mengikhlaskanmu dan melupakan rasa ini. Bukan memendamnya dan membiarkan perasaan ini tumbuh.


Tapi, aku bisa apa? Semakin aku mencoba untuk melupakanmu, perasaan ini tumbuh lebih pesat tak terkendali. Aku sangat mencintaimu.

Sabtu, 18 Mei 2013

Merindukanmu

Salahkah bila aku merindukanmu? Mengenang memori-memori tentangmu, tentang kita. Saat-saat kita bersama, saat tubuhku kau rengkuh ke dalam pelukanmu. Salahkah bila aku masih mengharapkanmu? Salahkah aku bermimpi dapat memilikimu?


Dapatkah aku mencintaimu tanpa harus merasakan sakit yang teramat sangat?
Dapatkah aku memilikimu tanpa harus melepaskanmu?
Dapatkah kamu datang kembali kepadaku?
Ke tempat di mana kita berbagi hari-hari bersama.
Menghabiskan waktu bersama.
Seharusnya aku mengerti, jawabannya tentu tidak.


Aku terlalu egois untuk memendam perasaan ini tanpa pernah memberitahumu. Aku terlalu berpura-pura kuat ketika kamu pergi tanpa alasan. Aku terlalu bodoh untuk tidak mencegahmu. Tapi aku bisa apa? Aku tidak memiliki hak apapun, karena akupun tidak tahu atas nama apa hubungan kita ini.


Aku di sini. Merindukanmu. Tiada rindu yang kulewatkan tanpa meneteskan airmata. Kini, pipiku selalu basah oleh airmata ketika mengingatmu. Seperti hujan yang tak kunjung reda. Kamu adalah pawang hujan dalam hatiku. Penghibur dalam hidupku. Dan cahaya terang di dalam hatiku.

Ketika Aku Mulai Dapat Merasakan Cinta Lagi

Ruangan ini. Ruang dengan satu meja dan dua kursi panjang berhadapan. Ruangan yang sangat hampa sampai pada akhirnya di hadapanku, kamu duduk tenang. Mataku bertemu tatap dengan matamu. Penuh canda, dan tawa. Ruangan ini tidak sehampa dulu.


Sekian lama aku mengenalmu tanpa pernah bertemu tatap, dan akhirnya aku dapat merasakan tatapan matamu yang hangat. Merasakan nyamannya sentuhan jemarimu di sela-sela jemariku. Perhatian-perhatianmu lewat pesan singkat, lewat rangkulanmu, pelukanmu; apakah aku salah mengartikannya? Salahkah aku bila perasaan ini muncul begitu saja? Aku berusaha meyakinkan diriku bahwa ini bukanlah cinta. Tapi mengapa aku begitu takut kehilanganmu? Akupun takut kamu akan menemukan pelabuhan cinta yang lainnya dan memilih untuk menghabiskan waktumu di sana.


Nyatanya, aku memang salah menafsirkan semua perhatianmu. Karena kini kamu telah pergi begitu saja, tanpa alasan dan ucapan selamat tinggal. Mengapa aku merasakan sakit yang amat dalam? Padahal aku selalu mencoba meyakinkan diriku sendiri bahwa ini bukanlah cinta. Tapi hatiku terasa amat sakit, dan tanpa sadar airmata ini kembali menetes. Hati ini kembali merasakan sakit yang luar biasa. Setelah sekian lama pipiku kering oleh airmata. Setelah sekian lama hati ini mati rasa. Namun, mengapa ketika aku mulai dapat merasakan cinta lagi, aku malah jatuh lagi & lagi?


Di sini. Di ruang hampa ini. Tempat di mana perasaan ini muncul dan tumbuh dengan pesat, aku duduk sendiri berharap kamu datang kembali. Memelukku lagi dan mengatakan bahwa kamu merasakan perasaan yang sama denganku. Tapi aku terlalu berharap lebih. Aku terlalu tinggi bermimpi. Seharusnya aku menyadari, kamu tidak akan pernah datang kembali. Karena, aku tidak berarti apa-apa untukmu.