Selasa, 20 Agustus 2013

Seperti 20 Hari yang Lalu

Seperti 20 hari yang lalu, kamu menyapaku lewat pesan singkat. Namun kali ini berbeda. Biasanya kamu memanggilku dengan panggilan sayang, tapi kini tidak. Disitulah aku sadar, telah terbentang jarak antara kita. Kamu dengan manisnya memintaku bertemu lagi padamu sebelum kauberangkat ke luar kota untuk menimba ilmu di sana. Aku pasti merindukanmu, tuan. Tapi aku terlalu egois untuk tidak menerima ajakanmu untuk bertemu. Aku sudah memaafkan kamu dari dulu, tapi aku masih belum berhasil melupakan kejadian beberapa hari yang lalu. Ketika kaumenggandeng perempuan lain memasuki gedung bioskop sementara kautelah memiliki aku. Dan saat kaumengatakan padanya bahwa kautak memiliki pasangan. Tahukah tuan, aku merasa sangat tidak dianggap? Kaubilang aku takpernah bisa percaya padamu. Tapi mengapa saat aku mempercayaimu, kaumalah menghancurkannya dengan mudah?


Ah, aku jadi teringat dengan pertemuan pertama kita. Kauterlihat begitu lucu dan manis. Kita banyak berbicara, bergurau, dan melepas olok-olokan manis disertai dengan serbuan cubitanmu di pipiku. Kaubilang sifatku masih terlalu lugu dan masih seperti anak-anak. Hari ini, aku merasa menjadi wanita paling bahagia di dunia. Pertemuan kedua, kaumenggenggam jemariku erat sambil tersenyum. Aku takpernah bisa mengartikan senyum tersiratmu. Saat itu kaumemintaku menjadi kekasihmu, aku begitu bahagia. Sebenarnya terbesit keraguan di benakku, tapi aku terlalu mengagumimu saat itu. Aku menerimamu. Kaumemelukku erat dan mengatakan bahwa kaumenyayangiku dan melarangku untuk dekat dengan lelaki lain. Pertemuan-pertemuan selanjutnya, kaumasih begitu manis. Aku masih ingat saat kita menonton sebuah film horror terbaru di bioskop, kauterlalu banyak bergurau sehingga kita selalu tertawa setiap ada adegan yang mengejutkan. Wajahmu lucu sekali, sayang. Akupun masih ingat saat dengan sok taunya aku mengikutimu memesan sebuah kopi. Kupikir rasanya manis, ternyata rasanya lebih dari pahit. Aku takmeminumnya sama sekali dan kaumengolok-olokku. Kaubegitu lucu.


Kaubegitu manis sehingga aku lupa bahwa kautetap seorang lelaki. Kaupasti mendekati perempuan lain di belakangku entah tujuannya apa padahal kautelah memiliki aku. Malam itu, ibuku memintamu untuk menjemputku di rumah nenek dan mengantarku pulang kerumah. Tapi, kaubilang tidak bisa karena ada acara buka puasa bersama dengan teman-temanmu. Aku begitu mempercayaimu. Ya, seperti yang kaubilang bahwa aku harus percaya padamu. Sampai pada akhirnya ibuku melihat kaumemasang foto bbm bersama wanita lain. Ketika aku bertanya padamu siapa perempuan itu, kauhanya menjawab bahwa itu hanya teman tanpa menjelaskan apa-apa lagi. Mengapa kaubegitu santai? Mengapa kautidak begitu mempedulikan aku? Apakah selama ini kautak pernah mencintaiku? Apakah selama ini hanya aku yang berjuang untuk mempertahankan?


Akhirnya aku tahu siapakah lelaki yang selama ini kukenal. Aku berbicara pada perempuan itu, dan dia mengatakan segalanya yang telah kaukatakan padanya. Kaumendekatinya, mengajaknya menonton sebuah film, dan dialah perempuan yang ada di foto itu, kaubilang padanya bahwa aku bukanlah kekasihmu. Hatiku seperti diiris. Ternyata, kaubegitu tega melakukannya. Kauhanya menyalahkanku karena terlalu tertutup padamu. Setahuku lelaki memang makhluk yang paling pintar berbicara dan membuat lawannya mati kutu. Akhirnya aku memutuskanmu tanpa pernah berpikir akan menyesal. Hatiku terlalu sakit, akupun terlalu lelah untuk mempercayaimu. Jika kaumembaca ini, pasti kautertawa kencang melihatku begitu menyesal telah meninggalkanmu. Ya, aku memang menyesal dan aku selalu meneteskan airmata setiap mengingatmu. Tapi aku takingin kaukembali dan menorehkan luka lagi. Biar saja hanya aku yang merasakan cinta ini.


Aku pernah percaya padamu sebelum akhirnya kaumengkhianatiku. Aku pernah mencintaimu sebelum akhirnya kaumenyakitiku. Tidak, sayang. Aku bukan pernah mencintaimu, tapi aku memang mencintaimu. Ya, aku mencintaimu. Dari awal pertemuan kita sampai sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar