Kamis, 14 Agustus 2014

How I Met My Half Soul

Berawal dari social media bernama Twitter. Tahun 2012. Saya bermain account "role-play" di sebuah account baru yang saya buat. Mungkin hanya segelintir orang yang tahu apa itu role-play. Role-play adalah main peran. Dimana kita bisa menjadi siapapun yang kita mau di situ.

Beberapa bulan kemudian, ada seorang lelaki yang yah, bisa dibilang ingin mendekati saya. Dari hari ke hari, lelaki itu selalu mengirimkan pesan lewat LINE yang sebenarnya sering saya tidak tanggapi apalagi membalasnya. Tapi ada waktu dimana saya merasa bosan dan membalas pesannya. Talking much and I know more about him. Siapa nama dia sebenarnya dan apa kesibukannya. Begitupun sebaliknya. Tapi, lagi lagi keesokan harinya saya tidak lagi membalas pesan-pesannya. Bisa dibilang saat itu saya sedang sibuk dengan laki-laki seusia saya untuk tahap penjajakan hubungan. Ah, ya usia saya dan lelaki pengirim pesan-pesan tak berbalas itu sekitar 6 tahun. Dimana saya masih mengenakan seragam putih abu-abu dan dia telah mengenakan pakaian kerjanya.


Lalu, lost contact. Saya pun tidak mempedulikannya. Toh saya mengenal dia hanya sebatas teman chatting. Namun beberapa minggu kemudian dia mengirimkan saya pesan lewat Text Message. Handphone-nya hilang. "Loh kok dia bisa dapet nomer gue lagi?". Nah, saya dulu pernah memberikan nomer handphone saya lewat Direct Message di Twitter. Lalu kita saling Add Friend di LINE lagi. Perlakuan saya terhadap dia masih sama, jarang membalas pesannya. Tapi anehnya, dia selalu membantu saya saat saya sedang kesulitan. Bukan cuma sekali. Sempat tersirat di benak saya, "dia memang baik atau bodoh sih..". Secara saya saja jarang membalas pesannya. Tapi kok, dia terus-terusan membantu.

Setelah berkali-kali janjian untuk kopi darat, dan berkali-kali batal. Akhirnya terlaksana juga aksi kopi darat itu. First impression saya, "ah bukan tipe gue". Setelah pertemuan itu, saya semakin jarang membalas pesannya. Saya membalas pesannya hanya ketika sedang bosan.

Singkat cerita, kita bertemu lagi. Di pertemuan yang kedua ini, saya dan dia berbicara banyak hal. Tanpa sadar, rasa nyaman pun datang bersamaan dengan rasa ketertarikan. Aneh memang, di saat pertemuan pertama saya berfikir laki-laki ini bukan tipe saya tapi sekarang saya malah tertarik. 


Lalu kita bertemu lagi. Sepulang dari pertemuan itu, saya memiliki pacar. Bukan. Saya bukan berpacaran dengan dia, tapi dengan lelaki lain. Namun semenjak saat itu, saya dan dia tetap dekat. Karena memang saya tidak menyukai pacar saya. Lalu kenapa pacaran? Jujur, saya paling tidak tega menolak perasaan seseorang.

Akhirnya ada saat dimana saya berani menyudahi hubungan saya dengan pacar saya. Setelah hubungan saya berakhir, saya mulai memfokuskan diri untuk membangun hubungan bersama dengan laki-laki it. Iya, dia. Dia si Pengirim Pesan Tak Terbalas. Dia si Laki-Laki Yang Saya Sukai Sejak Pertemuan Kedua.

Dia mengunjungi rumah saya. Berkenalan dengan Ayah saya. Ah, senang rasanya begitu mendengar bahwa Ayah saya menyukai sikapnya. Malam itu, di teras rumah saya, sembari menggenggam tangan saya, dia berkata..
"gak usah pake adegan nembak-nembakan kayak ABG ya, pokoknya aku mau serius sama kamu"
Senang rasanya.

Mungkin kalian berfikir, apa yang dia bilang pasti hanyalah fiktif belaka alias janji-janji manis yang akhirnya kandas, apalagi usia saya masih 18 tahun. Saya pun juga berfikir begitu. Tapi, bahagia rasanya saat dia bilang bersedia menunggu saya untuk siap menjadi Ibu untuk anak-anaknya kelak. Untuk menjadi pendamping hidupnya. Dan bahagia pula saat saya diperkenalkan di hadapan orangtuanya. Dan bahagia saat Ayah saya merestui hubungan kami untuk ke jenjang yang lebih serius beberapa tahun lagi. 

"Semua yang terjadi pada kita dari tahun ke tahun adalah sebuah skrip Tuhan yang disusun sebaik mungkin untuk mendapatkan akhir yang bahagia. Aku bersyukur telah dipertemukan dengan lelaki sebaik dirimu. Aku harap suatu saat nanti kaulah pendamping hidupku. Aku harap, aku adalah Ibu dari anak-anakmu. Biarlah tulisan ini menjadi bacaan hangat sebelum kita tidur. Aku mencintaimu, Sayang."

Selasa, 03 Desember 2013

Aku Tahu Seharusnya Aku Memang Berhenti Memikirkanmu

Masih ingatkah kamu semua tentang kita? Masih ingatkah kamu awal perkenalan kita? Masih ingatkah kamu awal pertemuan kita? Masih ingatkah kamu kapan kita saling memiliki rasa? Aku selalu mengingatnya.

Kita berkenalan lewat salah satu teman kita. Awalnya aku menganggapmu sebagai lelaki yang dingin, aku takpernah menyangka kauakan begitu sangat berarti untukku. Awal pertemuan kita, kaumenjemputku di rumah dan kita pergi menghabiskan waktu bersama. Saat bertemu denganmu, aku sadar bahwa aku kembali dapat merasakan jatuh cinta. Kaumenggenggam jemariku erat, kaumerengkuh tubuhku kedalam pelukanmu, kaumembisikkan kata cinta. Aku terlalu percaya, aku terlalu mudah percaya. Nyatanya kaumelakukan hal sama pada wanita-wanita lain, kan?


Namun tidak semua saling sayang bisa mendapat ending bahagia, Sayang. Kini kaupergi tanpa alasan dan aku hanya duduk diam meratapi kepergianmu, berharap kauakan kembali padaku. Aku berharap kaumerindukanku seperti aku merindukanmu.


Aku takpernah menyalahkan dirimu yang telah pergi setelah memberiku banyak harapan. Akupun takpernah menyalahkan diriku yang telah terlalu percaya pada bualan manismu. Inilah cinta, Sayang. Terkadang cinta memang takharus saling memiliki. Mungkin kita memang takpernah ditakdirkan untuk bersama. Mungkin kaumemang tercipta bukan untukku. Mungkin kauterlahir bukan untuk menemani hari-hariku yang sepi. Tuhan punya rencana lain yang kita takpernah tahu.


Aku tahu seharusnya aku memang berhenti memikirkanmu. Tapi pernahkah kaumendengar istilah hati dan otak takbisa berkompromi? Aku ingin melupakanmu, tapi hatiku tidak! Aku ingin berhenti mencintaimu, tapi hatiku tidak! Aku ingin berhenti mengharapkanmu kembali, tapi hatiku masih ingin memperjuangkan.


Aku merindukanmu, Sayang.
Aku menunggumu.

Selasa, 20 Agustus 2013

Seperti 20 Hari yang Lalu

Seperti 20 hari yang lalu, kamu menyapaku lewat pesan singkat. Namun kali ini berbeda. Biasanya kamu memanggilku dengan panggilan sayang, tapi kini tidak. Disitulah aku sadar, telah terbentang jarak antara kita. Kamu dengan manisnya memintaku bertemu lagi padamu sebelum kauberangkat ke luar kota untuk menimba ilmu di sana. Aku pasti merindukanmu, tuan. Tapi aku terlalu egois untuk tidak menerima ajakanmu untuk bertemu. Aku sudah memaafkan kamu dari dulu, tapi aku masih belum berhasil melupakan kejadian beberapa hari yang lalu. Ketika kaumenggandeng perempuan lain memasuki gedung bioskop sementara kautelah memiliki aku. Dan saat kaumengatakan padanya bahwa kautak memiliki pasangan. Tahukah tuan, aku merasa sangat tidak dianggap? Kaubilang aku takpernah bisa percaya padamu. Tapi mengapa saat aku mempercayaimu, kaumalah menghancurkannya dengan mudah?


Ah, aku jadi teringat dengan pertemuan pertama kita. Kauterlihat begitu lucu dan manis. Kita banyak berbicara, bergurau, dan melepas olok-olokan manis disertai dengan serbuan cubitanmu di pipiku. Kaubilang sifatku masih terlalu lugu dan masih seperti anak-anak. Hari ini, aku merasa menjadi wanita paling bahagia di dunia. Pertemuan kedua, kaumenggenggam jemariku erat sambil tersenyum. Aku takpernah bisa mengartikan senyum tersiratmu. Saat itu kaumemintaku menjadi kekasihmu, aku begitu bahagia. Sebenarnya terbesit keraguan di benakku, tapi aku terlalu mengagumimu saat itu. Aku menerimamu. Kaumemelukku erat dan mengatakan bahwa kaumenyayangiku dan melarangku untuk dekat dengan lelaki lain. Pertemuan-pertemuan selanjutnya, kaumasih begitu manis. Aku masih ingat saat kita menonton sebuah film horror terbaru di bioskop, kauterlalu banyak bergurau sehingga kita selalu tertawa setiap ada adegan yang mengejutkan. Wajahmu lucu sekali, sayang. Akupun masih ingat saat dengan sok taunya aku mengikutimu memesan sebuah kopi. Kupikir rasanya manis, ternyata rasanya lebih dari pahit. Aku takmeminumnya sama sekali dan kaumengolok-olokku. Kaubegitu lucu.


Kaubegitu manis sehingga aku lupa bahwa kautetap seorang lelaki. Kaupasti mendekati perempuan lain di belakangku entah tujuannya apa padahal kautelah memiliki aku. Malam itu, ibuku memintamu untuk menjemputku di rumah nenek dan mengantarku pulang kerumah. Tapi, kaubilang tidak bisa karena ada acara buka puasa bersama dengan teman-temanmu. Aku begitu mempercayaimu. Ya, seperti yang kaubilang bahwa aku harus percaya padamu. Sampai pada akhirnya ibuku melihat kaumemasang foto bbm bersama wanita lain. Ketika aku bertanya padamu siapa perempuan itu, kauhanya menjawab bahwa itu hanya teman tanpa menjelaskan apa-apa lagi. Mengapa kaubegitu santai? Mengapa kautidak begitu mempedulikan aku? Apakah selama ini kautak pernah mencintaiku? Apakah selama ini hanya aku yang berjuang untuk mempertahankan?


Akhirnya aku tahu siapakah lelaki yang selama ini kukenal. Aku berbicara pada perempuan itu, dan dia mengatakan segalanya yang telah kaukatakan padanya. Kaumendekatinya, mengajaknya menonton sebuah film, dan dialah perempuan yang ada di foto itu, kaubilang padanya bahwa aku bukanlah kekasihmu. Hatiku seperti diiris. Ternyata, kaubegitu tega melakukannya. Kauhanya menyalahkanku karena terlalu tertutup padamu. Setahuku lelaki memang makhluk yang paling pintar berbicara dan membuat lawannya mati kutu. Akhirnya aku memutuskanmu tanpa pernah berpikir akan menyesal. Hatiku terlalu sakit, akupun terlalu lelah untuk mempercayaimu. Jika kaumembaca ini, pasti kautertawa kencang melihatku begitu menyesal telah meninggalkanmu. Ya, aku memang menyesal dan aku selalu meneteskan airmata setiap mengingatmu. Tapi aku takingin kaukembali dan menorehkan luka lagi. Biar saja hanya aku yang merasakan cinta ini.


Aku pernah percaya padamu sebelum akhirnya kaumengkhianatiku. Aku pernah mencintaimu sebelum akhirnya kaumenyakitiku. Tidak, sayang. Aku bukan pernah mencintaimu, tapi aku memang mencintaimu. Ya, aku mencintaimu. Dari awal pertemuan kita sampai sekarang.

Senin, 19 Agustus 2013

Tanpa Judul

Suasana pagi ini begitu dingin, begitu mencekam. Aku merasakan sepi yang mendalam tanpamu. Lantunan lagu I Will Always Love You yang mengingatkanku padamu membuat dadaku terasa sesak. Kenangan itu kembali berputar. Saat-saat dimana kita memulai kisah ini......


Malam itu, seorang wanita sedang berdiri, menunggu. Aku melongokkan kepala ke segala arah mencari seseorang yang berjanji menjemputku. Aku kembali menatap layar handphone, kukira kautak datang. Tidak lama kemudian, sebuah deru motor terdengar berjalan ke arahku dan berhenti tepat di depan kaki-ku berpijak. Kautersenyum hangat, malam itu kaumengenakan jeans denim dipadu sweater biru. Aku duduk di belakangmu, saat itu aku merasakan hal yang berbeda. Di perjalanan menuju rumahmu, kita berbicara banyak. Namun kaulebih banyak bertanya, begitu banyak perhatian-perhatian manis darimu. Sampai akhirnya kaumenanyakan hal tentang seseorang yang takasing bagiku, detik itu rasa takut kehilangan mucul. Aku takut kauakan pergi bersamanya. Tapi kaumeyakinkanku bahwa kauhanya menginginkan aku.


Sebelum sampai rumahmu, kita pergi mencari makan di daerah Margonda. Kaumenggenggam jemariku erat didominasi dengan rangkulan hangat. Aku hanya tersenyum melihat begitu banyak perhatian yang kauberikan. Kaubegitu manis, kautahu cara memperlakukan wanita. Kaumenyingkirkan rambut-rambut kecil yang menutupi wajahku karena tertiup angin. Kaujuga mencari makanan yang aku inginkan pada saat itu. Rasanya aku ingin berjalan terus bersamamu tanpa ada pemberhentian. Aku fikir, aku jatuh cinta.


Sesampainya di rumahmu, kita masih banyak berbicara sambil menonton acara tv. Rasa kantuk datang menyerbuku, aku takmau terlelap dan melewati kenangan ini. Kaumenyelimuti tubuhku dan memelukku. Tahukah kamu tuan, pelukanmu jauh lebih hangat daripada selimut itu? Aku terbangun, tapi kautelah berubah menjadi orang yang takpernah kukenal. Raut wajahmu terlihat marah, kaumemilih mengantarku pulang lebih awal. Aku begitu takut melihatmu, kauberjalan lantang di depan meninggalkanku yang melangkah gontai sendirian di belakangmu. Aku merasa takmengenalmu, rasanya aku ingin pergi dan berlari. Di perjalanan, kaumemacu sepeda motormu sangat cepat. Ketakutanku bertambah, aku meneteskan airmata. Namun kautak menggubrisku, kautak merasa ada aku yang harusnya kaulindungi. Aku kecewa kauberubah secepat itu, hanya sepersekian jam. Kauyang awalnya adalah malaikat untukku, sekarang malah menjadi sesosok makhluk yang aku taktahu. Setelah membiarkanku turun di depan rumah, kaulangsung pergi. Nafasku sesak, aku melangkah pelan ke dalam rumah. Aku takmenyangka kausekejam itu.


Aku berharap kaumenghubungiku, tapi kautak kunjung melakukannya. Aku tertidur pulas dengan deraian airmata. Betapa terkejutnya aku saat terbangun, kaumencaci maki dan membentakku lewat pesan singkat. Tahukah tuan, aku merasakan sakit yang amat dalam? Aku memilih untuk melepaskanmu. Aku terlalu terkejut dan kecewa dengan kejadian ini.


Beberapa minggu kemudian, kaumulai menyapaku lagi lewat pesan singkat tapi hanya sekali. Ternyata kautelah bahagia bersama perempuan itu. Kakakku. Orang yang mungkin jauh lebih baik dariku dan dia bisa memberikanmu apa yang takpernah bisa kuberikan. Aku hanya tersenyum dalam tangis melihat semua itu. Aku belajar mengikhlaskan walaupun sulit. Takada cinta yang mudah melepaskan, tuan. Seandainya kautahu bahwa detik itu aku ingin merampasmu dari pelukannya. Tapi aku masih punya perasaan, takmungkin aku menghancurkan kebahagiaan oranglain demi memuaskan ego-ku.


Ternyata hubunganmu takberlangsung lama. Kaumemutuskan hubungan dengannya. Aku tersenyum. Aku taktahu arti dari senyuman itu. Aku sudah tidak mengharapkanmu kembali, tapi aku begitu bahagia kautelah lepas darinya.


Kaukembali padaku. Ya, kaudatang lagi padaku seolah takpernah terjadi apa-apa sampai pada akhirnya kaumembaca sebuah artikel yang kutulis tentangmu. Kaumeminta maaf dan ingin merubah sikapmu. Kita dekat lagi, kaumemasang status in a relationship denganku di akun facebook-mu padahal kaubelum memintaku menjadi pacarmu. Kita dekat, tapi aku taktahu atas nama apa hubungan kita ini. Kaudekat dengan wanita lain, tapi kaubilang sayang padaku. Aku takpernah mengerti apa maksudmu dan bagaimana jalan pikiranmu.


Aku takmengharapkan kaumenjadi milikku. Tapi jika kautak pernah benar-benar mencintaiku, pergilah. Aku rela melepasmu, lagi.



Jumat, 16 Agustus 2013

Kehilangan.




"Aku pernah mencintai. Aku pernah kehilangan...."



Kisah itu berawal dari pertemuan kita yang tidak disengaja, ketika aku sedang berjalan bersama sahabatku yang juga mengenalmu. Disitu kita bertemu, bertemu tatap, kautersenyum padaku. Pada saat itu, aku takpernah menyangka akan begitu mencintaimu. Pertemuan itu yang membuat hidupku berubah. Kaudatang setiap hari ke rumahku hanya untuk melihat kabarku atau sekedar memberi hadiah-hadiah kecil. Tak terasa, kita telah begitu dekat dan kaumenyatakan perasaanmu padaku. Tapi, aku terlalu egois. Aku masih terlalu mencintai seseorang di masa lalu, sehingga hanya melihatmu taklebih dari seorang teman. Tapi kaumemilih untuk menunggu. Aku fikir, itu hanya omong kosong belaka. Ternyata tidak. Hari demi hari, kita melewatinya dengan penuh makna dan beribu-ribu pelukan. Aku begitu nyaman saat berada di dekatmu, tapi hatiku masih milik oranglain.


Semakin lama bersamamu, aku justru merasa iba karena telah membuatmu membuang-buang waktu untuk seseorang yang mencintai oranglain. Aku selalu memintamu menyerah, tapi kauselalu menolaknya. Aku selalu memintamu pergi, tapi kaumalah memelukku erat. Hatiku terenyuh, seiring berjalannya waktu akhirnya aku bisa mencintaimu. Meskipun tidak seutuhnya.


Kita menghabiskan waktu bersama. Kaumembuatku menjadi wanita paling beruntung di dunia. Petikan gitar dan suara merdu selalu menghiasi hari-hariku. Pelukan hangat selalu jadi obat tidurku di kala terjaga. Tapi, aku taksadar bahwa aku masih selalu membicarakan orang di masa laluku padamu. Aku bilang masih sayang padanya, kauhanya tersenyum dan mengelus lembut rambutku. Bahkan, kaumemelukku erat saat aku merindukannya.


Lambat laun, aku merasa takpantas bersanding denganmu. Kaumampu mendapatkan wanita yang lebih baik dan mencintaimu lebih dari yang aku bisa. Aku memutuskan hubungan, tapi kaumenolaknya. Kaubilang bahwa kaubegitu mencintaiku, tapi aku berusaha takmendengar. Aku benar-benar pergi menjauhimu. Aku fikir aku bisa melupakanmu, tapi ternyata tidak! Aku kesepian. Tidak ada lagi petikan-petikan gitar dan suara merdu yang menghiasi hari-hariku. Tidak ada lagi pelukan hangat sebagai obat tidur. Tidak ada lagi kamu di sisiku. Itu semua menyakitkan.


Namun betapa terpukulnya aku karena di saat aku ingin memintamu kembali, kautelah pergi jauh. Sebuah kecelakaan telah merenggutmu pergi jauh dari sisiku. Aku tidak akan pernah mendengar petikan gitar dan suara merdumu lagi. Aku tidak akan bisa memelukmu lagi. Aku tidak akan mampu membuatmu kembali ke sisiku. Penyesalan memang selalu datang terlambat. Aku sadar bahwa aku pernah sangat egois untuk tidak mau belajar mencintaimu seutuhnya. Aku sadar bahwa ada seseorang yang begitu mencintaiku lebih dari aku mencintai seseorang di masa laluku. Aku sadar bahwa hanya kamulah yang bisa bertahan akan semua ego-ku. Dan aku sadar bahwa kautelah pergi. Ya, kautelah pergi.


Hari ini, menit ini, detik ini, aku merindukanmu.

Kamis, 25 Juli 2013

Hati Ini Masih Milikmu..

2 Tahun 5 Bulan 22 Hari yang lalu, Tuhan mempertemukan kita. Tatapanmu begitu hangat, kaumeraih tanganku dan memperkenalkan dirimu. Detik itu juga, darahku berdesir, jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya, mulutku terbungkam rapat. Aku bahagia bisa mengenalmu. Pertemuan-pertemuan berikutnya, kaumasih begitu hangat. Betapa kurindukan dirimu saat merengkuh tubuhku kedalam pelukanmu. Saat dengan begitu perhatiannya kaumelindungi tubuhku dari rintik hujan dengan baju hangatmu.


Hari-hari kita lewati bersama dengan rasa bahagia, seperti hanya kau dan aku yang paling bahagia karena cinta. Sampai pada akhirnya hubungan kita menjadi pasti, kita resmi pacaran. Tahukah kaubetapa bahagianya aku saat itu? Aku tertidur pulas dengan perasaan bahagia. Tapi mengapa ketika aku terbangun, aku harus melepaskanmu? Mengapa tiba-tiba kaumemutuskan hubungan? Kamu memilih pergi tanpa alasan. Tahukah kamu betapa hancurnya aku saat mendengarmu mengucapkan kata pisah dengan begitu mudahnya? Saat itu, aku hanya membiarkanmu mendengar isak tangisku & melepasmu pergi dengan harapan kauakan kembali padaku. Tapi ternyata, kaupergi tanpa pernah menoleh ke belakang.


Hari-hariku menjadi sulit. Nafasku terasa sesak, mataku selalu sembab, hatiku tidak tertata rapi. Aku masih begitu mencintaimu. Setiap tahun ketika hari kelahiranmu, aku datang membawa sebuah kue dan sebungkus kado. Ah, betapa bahagianya aku saat kaumenerimanya dan menyunggingkan sebuah senyuman saat membukanya. Masihkah kaumenyimpan hadiah-hadiah dariku? Sampai pada akhirnya kaumerasa lelah dengan tingkahku yang selalu mengagungkanmu. Kaumemintaku untuk pergi dan melupakanmu. Betapa tajamnya perkataanmu saat mengusirku pergi dari kehidupanmu. Bodohnya, aku hanya meneteskan airmata yang kaubilang takkan pernah ada gunanya dan takkan bisa membuatmu kembali.


Aku fikir, aku bisa melupakanmu. Aku mencoba menjalani hubungan dengan orang lain beberapa kali, tapi hati ini telah mati rasa. Kautelah mecinptakan trauma yang begitu besar. Aku tak lagi bisa mencintai oranglain. Aku tak lagi bisa percaya oleh kata-kata manis oranglain. Aku tak lagi bisa melihat oranglain, selain kamu. Sampai pada akhirnya aku lelah menunggu, aku lelah selalu iri pada wanita-wanita yang kaupuja. Aku menyerah. Aku tak lagi mengharapkanmu kembali. Aku tak lagi menunggumu. Aku telah merelakanmu jauh sebelum hari ini. Aku telah sangat mampu melepasmu. Tapi, kaupergi dengan menggenggam hatiku.

Selasa, 23 Juli 2013

Arti Sebuah Harapan..

Apakah aku terlalu terburu-buru jika memintamu untuk meresmikan hubungan yang takpasti ini?  Apakah terlalu cepat jika aku menginginkanmu menjadi milikku? Kurasa tidak, kita telah menghabiskan beribu-ribu hari untuk mengenal lebih dekat, dan beribu-ribu hari itu juga aku menunggumu menyatakan perasaanmu padaku.

Hanya sebuah kepastian yang dapat melegakan hati seorang wanita yang telah dipenuhi harapan. Jika kaumemang menyayangiku, mengapa taklekas kaumemintaku menjadi milikmu? Jika kaumemang serius menjalani hubungan ini, mengapa kauterus menggantungkannya?

Aku hanya bisa menunggu dan menunggu. Tapi, tahukah kamu bahwa aku memiliki kadar kebosanan? Sadarkah kamu jika aku takbisa menunggumu terlalu lama? Aku takmungkin berada dalam hubungan takpasti ini terlalu lama.

Tanpa sadar, rasa peduli yang teramat sangat kini telah menghilang entah kemana. Rasa ingin memiliki telah raib entah kemana. Rasa cinta kian memudar. Aku begitu malas untuk meluangkan waktuku untuk memikirkan dan mempedulikanmu. Aku begitu enggan untuk menunggumu menyatakan perasaan. Aku yang terlalu terburu-buru atau kamu yang terlalu teliti memilih?

Aku ingin menunggu, tapi hatiku tidak. Rasa yang begitu besar untukmu, kini telah memudar. Aku takpernah bermaksud memberimu sebuah harapan kosong. Harapan yang kuberikan jelas sungguh nyata, tapi kaumembiarkannya habis ditelan waktu begitu saja dan menghilang entah kemana sehingga menjadikan harapan itu kosong. Salahkah aku disini? Atau aku harus menyalahkanmu karna telah membuatku merasa semua ini sia-sia setelah menunggumu begitu lama?

Dulu, aku berfikir kita bisa menjadi sepasang kekasih. Saling mencintai, saling memeluk, saling memperjuangkan. Sekarang, aku sadar bahwa kita takpernah bisa lebih dari sekedar teman dekat. Maaf...